Sejarah Penuh Darah Berlian Terkutuk Kooh-i-Noor yang Dimiliki Inggris

Berlian berasal dari tambang aluvial India ribuan tahun yang lalu, diayak dari pasir. Menurut kepercayaan Hindu, Kooh-i-Noor dipuja oleh dewa-dewa seperti Krishna.

Dipercaya membawa kutukan, berlian ini mengalami intrik pengadilan India sebelum akhirnya terpasang di salah satu mahkota Kerajaan Inggris.

Menurut sejarawan Anita Anand dan William Dalrymple, banyak cerita simpang siur mengenai permata Kooh-i-Noor ini.

Kedua sejarawan ini menelusuri lebih dari empat abad sejarah India untuk mempelajari kebenaran tentang Kooh-i-Noor. Meski saat ini terpasang di mahkota ibu Ratu Elizabeth II, banyak yang mengeklaim kepemilikan permata ini. Termasuk India, Pakistan, dan bahkan Taliban.

Untuk memahami sejarah berlian terkutuk ini, kita perlu menyelami masa lalu yang kelam, ketika India diperintah oleh orang luar: Mughal.

Pertumpahan darah untuk menguasai Kooh-i-Noor

Selama berabad-abad, India adalah satu-satunya sumber berlian di dunia—hingga tahun 1725, dengan ditemukannya tambang berlian di Brasil. Penguasa anak benua itu menjalankan perannya sebagai penikmat berlian pertama.

Pemimpin Turco-Mongol Zahir-ud-din Babur datang dari Asia Tengah melalui Kyber Pass untuk menyerang India pada tahun 1526. Mereka kemudian mendirikan dinasti Mughal Islam. “Saat itu, muncul era baru kegilaan dengan batu permata,” ungkap Dalrymple.

Memerintah India utara selama 330 tahun, Mughal memperluas wilayah di hampir seluruh India saat ini, Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan timur. Tidak hanya wilayah, penjajah ini turut menikmati pegunungan batu permata yang mereka rampas.

Sayangnya, Kooh-i-Noor tidak diketahui dengan pasti dari mana asalnya dan kapan pertama kali dimiliki oleh Mughal. Tetapi ada titik pasti di mana ia muncul dalam catatan tertulis.

Pada tahun 1628, penguasa Mughal Shah Jahan memerintahkan untuk membuat takhta megah berhiaskan batu permata. Membutuhkan waktu 7 tahun untuk menyelesaikannya, dengan biaya empat kali lipat dari Taj Mahal, yang juga sedang dibangun.

Seperti yang ditulis oleh penulis sejarah pengadilan Ahmad Shah Lahore dalam catatannya tentang takhta:

“Di antara banyak batu mulia yang menghiasi takhta adalah dua permata yang sangat besar. Ruby Timur—lebih dihargai oleh Mughal karena mereka lebih menyukai batu berwarna—dan berlian Koh-i-Noor . Berlian itu bersarang di bagian paling atas takhta, di kepala merak batu permata yang berkilauan.”

Kekaisaran Mughal mempertahankan supremasinya di India dan sekitarnya. Delhi, ibu kota dan negara bagian terkaya di Asia, adalah rumah bagi 2 juta orang. Namun kemakmuran Mughal menarik perhatian penguasa lain di Asia Tengah, termasuk penguasa Persia Nader Shah.

Ketika Nader menginvasi Delhi pada tahun 1739, ia membantai puluhan ribu nyawa dan merampas emas serta permata. Begitu banyaknya sehingga harta yang dijarah membutuhkan 700 gajah, 4.000 unta, dan 12.000 kuda untuk menariknya. Ini termasuk takhta megah yang dibuat sebelumnya.

Kooh-i-Noor berada di luar India selama 70 tahun, terus berpindah tangan disertai perebutan berdarah. “Untuk merebutnya, seorang raja membuat buta putranya sendiri,” imbuh Anand.

Dengan semua pertempuran antara faksi-faksi Asia Tengah, India mengalami kekosongan kekuasaan dan ini dimanfaatkan oleh Inggris.

Inggris merebut Kooh-i-Noor

Pada pergantian abad ke-19, British East India Company memperluas kontrol teritorialnya dari kota-kota pesisir ke pedalaman anak benua India. Inggris mengeklaim lebih banyak sumber daya alam dan pos perdagangan. Tidak hanya itu, mereka juga mengincar harta yang tak ternilai yang menjadi rebutan: Koh-i-Noor.

Setelah pertempuran selama beberapa dekade, berlian itu kembali ke India dan jatuh ke tangan penguasa Sikh Ranjit Singh pada tahun 1813.

Anand dan Dalrymple menuliskan, “Permata itu tampaknya memiliki simbolisme besar, lebih besar dari harganya.”

Bagi Anand, peningkatan berlian oleh Singh adalah titik balik utama dalam sejarahnya. Batu permata ini jadi seperti cincin di Lord of The Rings, satu cincin yang mengatur semua orang. “

Bagi Inggris, simbol gengsi dan kekuasaan itu tak tertahankan. Jika mereka bisa memiliki permata dan India, ini akan melambangkan kekuatan dan superioritas kolonial Inggris.

Maka tidak heran jika Kooh-i-Noor kemudian menjadi berlian yang layak diperjuangkan. Banyak cara keji dilakukan untuk mendapatkannya.

Ranjit Singh meninggal di tahun 1839. “Rencananya untuk memberikan berlian dan permata lainnya kepada sekte pendeta Hindu membuat pers Inggris murka,” tutur Anand. British East India Company pun didesak untuk merebut berlian itu

Tetapi para penjajah pertama-tama dipaksa untuk menunggu periode pergantian penguasa yang kacau. Sampai akhirnya seorang bocah berusia 10 tahun, Duleep Singh, menduduki takhta.

Inggris memaksa Duleep untuk menandatangani dokumen hukum yang mengubah Perjanjian Lahore. Salah satu isinya adalah menyerahkan Koh-i-Noor dan semua klaim kedaulatan.

Sejak itu, Kooh-i-Noor menjadi milik khusus Ratu Victoria. Berlian ‘penuh darah’ ini kemudian ditampilkan di sebuah pameran besar di London 1851. Di luar dugaan, publik kecewa melihat tampilannya yang ‘biasa’ saja. “Bagaikan sepotong kaca biasa,” tulis The Times saat itu.


Kooh-i-Noor sempat digunakan sebagai bros dan mahkota. Sampai akhirnya berlian ini mendapatkan sebuah tempat kehormatan: dipasang di bagian depan mahkota Ibu Suri, ibu Ratu Elizabeth II.

Mengapa Kooh-i-Noor dianggap membawa kutukan?

Diselimuti rumor, termasuk rumor kutukan, dan misteri, satu hal yang pasti tentang Koh-i-Noor: memicu banyak kontroversi.

Richard Kurin, Cendekiawan Terhormat dan Duta Besar Smithsonian, memiliki alasan mengapa permata ini dianggap terkutuk. “Bagaimana cara mereka memperolehnya, yang penuh darah, membuat berlian ini terkutuk,” ungkapnya.

“Ketika yang kuat mengambil sesuatu dari lemah, mereka tidak berdaya selain mengutuk,” kata Kurin.

Hingga kini, Koh-i-Noor masih menjadi perebutan. Namun Kurin dan Dalrymple sama-sama berpendapat bahwa negara penguasa yang pernah memiliki batu permata ini sudah tidak ada lagi.

Kepada siapa Kooh-i-Noor harus dikembalikan?

“Koleksi pasca-kolonial adalah topik besar di mana-mana,” kata Jane Milosch, direktur Provenance Research Initiative Smithsonian.

“Mungkin ada penilaian ulang untuk objek tertentu, 'kita mungkin memiliki kepemilikan yang sah, tetapi apakah masuk akal untuk menyimpan materi ini?'” Dia mengutip kasus tahun 2014 di mana British Museum mengembalikan dua patung perunggu dari Benin ke Nigeria. Patung ini diambil selama serangan pada tahun 1897 setelah perwira Inggris terbunuh selama misi perdagangan.

Namun mengungkap sejarah kolonial jauh lebih kompleks karena negara-negara itu sebagian besar sudah tidak ada. Kalau pun masih ada, mereka mungkin memiliki undang-undang ekspor yang berbeda.

Koh-i-Noor bukan satu-satunya harta karun yang diperebutkan yang saat ini berada di Inggris. Mungkin yang sama kontroversialnya adalah Elgin Marbles. Patung yang diukir 2.500 tahun yang lalu ini diambil dari Parthenon di Athena oleh Lord Elgin dari Inggris pada awal 1800-an.

Sejauh ini, Inggris telah mempertahankan kepemilikan patung dan berlian itu, terlepas dari seruan untuk pengembaliannya.

Anand berpendapat bahwa sejarah tentang berlian ini harus dibuat lebih jelas.

“Di pameran, orang-orang membaca petunjuk bahwa ini adalah hadiah dari India untuk Inggris. Saya ingin sejarah yang benar dimasukkan ke dalam berlian,” harapnya.

Comments

Popular posts from this blog

Makhluk Misterius Terlihat di Hamburg

Kisah Ratu Juana, Si Gila dari Kastila

Rekaman putri duyung di Polandia