Anubis, Julukan Fosil Paus Purba Mesir yang Bisa Berjalan di Darat
Mesir tak selalu tentang Sungai Nil, kerajaan kuno ribuan tahun sebelum masehi, dan gurun yang tandus. Ratusan juta tahun yang lalu, sebagian dataran di negeri Firaun itu adalah bagian dari samudera prasejarah Tehthys.
Sebelumnya National Geographic Indonesia 2010 lalu mengabarkan, bahwa banyak temuan fosil paus di Mesir. Para paleontolog pertama kali menemukannya sejak 1904, dan ternyata tersebar di Mesir, Moroko, Tunisia, hingga Yordania.
Di Samudera Tethys, genus paus purba itu adalah Basilosaurus, nama latin yang berarti "raja kadal", dan menjadi predator puncak di lingkungannya.
2008 lalu, para paleontolog yang dipimpin paleontolog vertebrata Egyptian Environmental Affairs Agency Mohamed Sameh Atar melakukan ekspedisi di kawasan Cekungan Fayum, daerah di tengah Mesir yang dikenal dengan banyak fosil biota laut dari zaman Eosen. Tetapi, beberapa terdapat fosil yang belum diidentifikasi.
Barulah, lewat penelitian terbaru Antar bergabung dalam penelitian yang mengidentifikasi temuannya itu sebagai paus akuatik dari 43 juta tahun yang lalu. Mereka memberikan nama latinnya sebagai Phiomitecus anubis, yang diadopsi dari nama dewa kematian Mesir kuno karena sifatnya yang mematikan.
Para peneliti mempublikasikan penelitiannya di Proceeding of the Royal Society B: Biological Sciences, Rabu (25/08/2021). Penelitian mereka berjudul A new protocetid whale offers clues to biogeography and feeding ecology in early cetacean evolution.
Paus purba itu ditemukan dengan panjang tiga meter, dan diyakini bisa berjalan di darat dan berenang di air. Paus ini diyakini buas karena memiliki otot rahang yang kuat yang memungkinkan untuk mudah mengunyah mangsa, seperti buaya dan mamalia kecil, hingga spesies paus kecil lainnya.
"Selama sekitar 10 juta tahun, nenek moyang paus berubah dari mamalia darat herbivora, mirip rusa, menjadi cetacea karnivora dan sepenuhnya akuatik," tulis penelitian yang dipimpin Abdullah Gohar. Dia adalah paleontolog di Mansoura University dan peneliti di Egyptian Environmental Affairs Agency.
"Protocetids adalah paus Eosen yang mewakili tahap semiakuatik yang unik dalam transformasi evolusioner yang dramatis itu."
Gohar dan tim menganalisis kumpulan fosil itu, seperti potongan tengkorak, rahang, gigi, tulang belakang, dan rusuknya. Mereka menemukan bahwa P. anubis yang teliti ini beratnya mencapai 600 kilogram, dan merupakan jenis paus paling awal di Afrika dibandingkan dengan kelompok paus semiakuatik protocetids lainnya.
P. anubis ini memiliki fitur yang paling primitif. Para peneliti memaparkan, ada fitur anatomi baru dan strategi makan yang baru diketahui. Misalnya, paus purba ini meemimiliki gigi seri dan taring yang berguna untuk menangkap, melemahkan.
Paus ini juga bisa menahan mangsa yang lebih cepat seperti ikan, dan kinerjanya masih belum dipahami. Para peneliti meyakini, mangsa tersebut akan dipindahkan ke gigi pipi untuk dikunya menjadi potongan-potongan kecil dan ditelan.
"Fitur unik dari tengkorak dan mandibula menunjukkan kapasitas untuk pemrosesan mekanik oral yang lebih efisien daripada kondisi khas protocetid, sehingga memungkinkan gaya makan raptorialnya kuat," tulis Gohar dan tim.
Selain itu, otot-otot besar di kepalanya dapat memberi paus itu tenaga gigitan yang kuat, yang memungkinkannya untuk menangkap mangsa yang besar dalam gertakan dan gigitan.
"Kami menemukan betapa rahangnya yang begitu ganas, mematikan, dan kuat mampu merobek berbagai mangsa," kata Gohar, dikutip dari LiveScience.
Menurut Hesham Sallam, anggota lain dalam penelitian dari Mansoura University, paus purba ini menimbulkan pertanyaan seperti seperti apa ekosistem purba di Mesir, bagaimana asal-usulnya, dan bagaimana koeksistensinya paus purba bisa muncul di Mesir.
Comments
Post a Comment